Bagaimana Status Pernikahan, Bila Suami Atau Istri Murtad?

Bagaimana Status Pernikahan, Bila Suami Atau Istri Murtad?
Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan bagaimana status pernikahan, bila suami atau istri murtad? Selamat membaca.
Pertanyaan:
بسم الله الرحمن الرحيم
Assalaamu’alaikum ustadz, bagaimana status pernikahan seseorang yang dahulu dia (sebelum menikah dan mengenal dakwah) melakukan pembatal keislaman (seperti mengolok-olok Allah). Tetapi dia tidak tau bahwa itu adalah pembatal keislaman? Jazaakallaahu khairan katsiiraa.
(Ditanyakan oleh Santri Kuliah Islam Online Mahad BIAS)
Jawaban:
Waalaikumsalam warahmatullah wabarokatuh.
Pernikahan tetap sah dan tidak perlu mengulang kembali bila memang apa yang dilakukan sebelumnya karena didasarkan kejahilan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
(وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ مَا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا) الأحزاب/ 5
“Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ahzab: 5)
Dan sabda Nabi sallallahu alaihi wa sallam:
( إِنَّ اللَّهَ قَدْ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ، وَالنِّسْيَانَ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ) رواه ابن ماجه (2043) و حسنه الألباني
“Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku kekhilafan, lupa dan apa yang dipaksakan kepadanya.” (HR. Ibnu Majah, 2043 dinyatakan hasan oleh Albani.)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam rangka menjelaskan bahwa hukum Islam apabila salah seorang dari suami-istri murtad, maka pernikahan keduanya harus dibekukan:
“Demikian pula masalah murtad, pendapat yang menyatakan harus segera diceraikan adalah menyelisihi sunnah yang telah dicontohkan oleh Nabi (ﷺ).
Sebab pada masa beliau, banyak pula manusia yang murtad. Di antara mereka ada yang istrinya tidak ikut murtad. Kemudian, mereka kembali masuk Islam lagi, dan istri-istri mereka pun kembali lagi kepada mereka.
Tidak pernah diketahui bahwa ada seorang pun dari mereka yang disuruh memperbaharui pernikahannya. Padahal, sudah pasti bahwa di antara mereka ada yang masuk Islam setelah sekian lama, melebihi masa iddah.
Demikian pula, sudah pasti bahwa mayoritas dari istri-istri mereka yang tidak murtad tersebut, namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menanyakan secara mendetail kepada seorang pun dari suami-suami yang murtad, apakah ia masuk Islam setelah masa iddah istrinya habis atau sebelumnya.
(Ahkam Ali Dzimmah I/344,345)
Syeikh Utsaimin -rahimahullah- memberikan udzur karena kejahilan, baik dalam masalah fikih, maupun dalam masalah akidah.
Beliau mengatakan:
“Aku melihat masalah “takfir bil jahli” (memvonis kafir karena kejahilan) masih susah kalian pahami. Aku HERAN mengapa masalah ini susah bagi kalian, apa yang menjadikannya susah dipahami daripada rukun-rukun Islam, syarat-syarat Islam, dan kewajiban-kewajiban Islam yang lainnya.
Apabila seseorang diberi udzur karena kejahilan dalam meninggalkan shalat, padahal shalat itu salah satu dari rukun Islam, bahkan ia termasuk rukun Islam yang paling agung, (apalagi dalam masalah yang lainnya), seperti orang yang hidup di tempat yang jauh dari perkotaan dan jauh dari ilmu (agama), dan dia tidak tahu kalau shalat itu wajib, maka orang ini diberi udzur karena kejahilan, dan tidak diwajibkan qadha’ atas dia.
Apabila manusia tidak diberi udzur karena kejahilan dalam hal syirik, lalu mengapa diutus para rasul untuk mendakwahi kaumnya agar mentauhidkan Allah, karena apabila mereka tidak diberi udzur karena kejahilan, itu berarti mereka telah mengetahuinya, lalu mengapa diutus para rasul.
Semua rasul itu mengatakan kepada kaumnya: “Tidak ada bagi kalian sesembahan selain Allah” (QS. Al-A’raf: 59, 65, 73, 85).
(Dalam ayat lain disebutkan): “Tidaklah Kami utus sebelummu seorang pun rasul, melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada sesembahan (yang berhak disembah) melainkan Aku, maka beribadahlah (hanya) kepada-Ku“. (QS. Al-Anbiya: 25).
Apabila seseorang mengaku Islam, dan dia melakukan suatu kekufuran kesyirikan, tapi dia TIDAK TAHU bahwa itu syirik, dan belum diingatkan tentang masalah itu, bagaimana kita katakan dia KAFIR?
Apakah kita lebih tahu tentang hukum ini melebihi Allah?
Apakah kita menghalangi hamba-hamba Allah dari rahmat Allah?
dan kita katakan dalam masalah ini bahwa kemurkaan Allah mengalahkan rahmat-Nya?
Ya ikhwah, masalah ini bukanlah masalah logika. Vonis kafir, vonis fasik, dan vonis bid’ah, adalah hukum syariat, harus diambil dari (dalil) syariat, Allah saja mengatakan:
“Barangsiapa menentang Rasul (Muhammad) setelah JELAS kebenaran baginya, dan dia mengikuti jalan selain jalan kaum mukminin, maka Kami biarkan dia dalam kesesatan yang telah dilakukakannya itu, dan akan kami masukkan dia ke dalam neraka Jahannam“. (QS. An-Nisa’: 115).
Allah juga berfirman: “Allah tidak akan menyesatkan suatu kaum setelah mereka Allah beri petunjuk, sehingga Dia JELASKAN kepada mereka apa yang harus mereka jauhi“. (QS. At-Taubah: 115).
Allah juga berfirman: “Kami tidaklah mengadzab sampai Kami utus seorang rasul” (QS. Al-Isra: 15). Untuk apa Rasul diutus? Agar dia MENJELASKAN dan mengajak kepada tauhid… dan ayat-ayat dalam masalah ini banyak. (Sebagaimana yang dituliskan oleh Ustadz DR. Musyaffa’ Ad Dariny MA, حفظه الله تعالى )
https://bbg-alilmu.com/archives/32795
Wallahu Alam
Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Mu’tashim, Lc. MA. حفظه الله
9 Safar 1444 H/ 5 September 2022 M
Ustadz Mu’tashim Lc., M.A.
Dewan konsultasi BimbinganIslam (BIAS), alumus Universitas Islam Madinah kuliah Syariah dan MEDIU
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Mu’tashim Lc., M.A. حفظه الله klik di sini