Bagaimana Kriteria Seseorang Dianggap Siap Menikah?

Bagaimana Kriteria Seseorang Dianggap Siap Menikah?
Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang Bagaimana Kriteria Seseorang Dianggap Siap Menikah? selamat membaca.
Pertanyaan:
Bismillah, assalamu’alaikum Afwan ustadz izin bertanya, bagaimana kriteria seseorang dianggap siap menikah? Seorang wanita yang sudah memasuki usia nikah, dan orang tua menyuruhnya, namun dia tidak tahu apa dirinya sudah siap atau belum untuk menikah sehingga dia bingung bagaimana menanggapinya. Syukron, wa jazaakumullaahu khoiron ustadz.
Ditanyakan oleh Sahabat AISHAH (Akademi Shalihah)
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Warahmatullah Wabarakatuh
Kapan seseorang itu layak untuk menikah? Ini tergantung apa hukum menikah bagi dia. Pendapat terpilih bahwa hukum menikah itu tergantung kondisi masing-masing orang.
Ahli tafsir Al-Qurthubi berkata: “Para ulama kita berkata, hukum nikah itu berbeda-beda tergantung keadaan masing-masing orang dalam tingkat kesulitannya menghindari zina dan juga tingkat kesulitannya untuk bersabar.
Dan juga tergantung kekuatan kesabaran masing-masing orang serta kemampuan menghilangkan kegelisahan terhadap hal tersebut.
- Apabila seseorang khawatir jatuh dalam kebinasaan dalam agamanya atau dalam perkara dunianya, maka nikah ketika itu hukumnya wajib.
- Siapa saja yang sangat ingin menikah dan ia memiliki sesuatu untuk dijadikan mahar untuk menikah hukumnya mustahab baginya.
- Jika ia tidak memiliki sesuatu yang tidak bisa dijadikan mahar, maka ia wajib untuk isti’faf (menjaga kehormatannya) sebisa mungkin. Misalnya dengan cara berpuasa, karena dalam puasa itu terdapat perisai sebagaimana disebutkan dalam hadist shahih” (lihat Tafsir al-Qurthubi, 12/201).
Hadis pokok yang menjadi acuan syariat untuk nikah adalah hadist dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, siapa diantara kalian yang sudah mampu ba’ah (jima’ dan menanggung nafkah), hendaknya dia menikah. Karena menikah akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Sementara siapa yang tidak mampu, hendaknya dia berpuasa. Karena itu bisa menjadi tameng syahwat baginya.” (HR. Bukhari, no. 5065 dan Muslim, no. 1400).
Hadis ini juga memberikan faedah bahwa batasan usia menikah itu tidak diatur secara eksplisit, hanya saja Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menganjurkan para pemuda yang sudah bisa melakukan hubungan intim untuk segera menikah (tentunya dengan persiapan yang patut).
kata ba’ah dalam hadis ini, secara bahasa artinya: al-jima’ (hubungan intim). Secara istilah, ba’ah juga maksudnya adalah kemampuan untuk menyediakan mahar dan nafkah bagi calon istri (lihat Manhajus Salikin, dengan ta’liq Syaikh Muhammad al-Khudhari, hal. 191).
Maka pemuda yang sudah mampu melakukan hubungan intim, mampu menyediakan mahar, dan mampu memberi nafkah, hendaknya mereka segera menikah.
Adapun bagi wanita, secara hukum syar’i mereka boleh menikah semenjak usia mumayyiz (bisa membedakan jenis dan nilai uang) walaupun belum baligh, dalilnya adalah ucapan Aisyah radhiyallahu ’anha (dihukumi hadis marfu’);
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – تَزَوَّجَهَا وَهْىَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ ، وَبَنَى بِهَا وَهْىَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ
“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menikahi Aisyah ketika beliau berusia 6 tahun. Dan beliau tinggal serumah bersama Aisyah ketika ia berusia 9 tahun” (HR. Bukhari no. 5134).
Dan para ahli ilmu telah sepakat tentang bolehnya menikahi anak wanita yang masih kecil walau belum baligh (sekedar mengikat hubungan). Namun perlu diingat, di negara kita ada batasan usia minimal wanita menikah (hukum negara), maka patuh dengan hukum ini adalah untuk menjaga maslahat bermasyarakat dan menjaga stabilitas keamanan diri.
Sebelum menikah, wajib persiapan mental dan belajar ilmu diniyyah tentang pernikahan dan segala seluk beluk dan konsekuensinya disertai musyawarah dan arahan berharga dari orang tua.
Wallahu Ta’ala A’lam.
Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Jum’at, 10 Sya’ban1444H / 3 Februari 2023 M
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Beliau adalah Alumni STDI Imam Syafi’i Jember (ilmu hadits), Dewan konsultasi Bimbingan Islam
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Fadly Gugul حفظه الله تعالى klik disini