Adab & AkhlakKonsultasi

Bagaimana Cara Minta Maaf Dari Dosa Ghibah?

Pendaftaran Grup WA Madeenah

Bagaimana Cara Minta Maaf Dari Dosa Ghibah?

Para pembaca Bimbinganislam.com yang baik hati berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang bagaimana cara minta maaf dari dosa ghibah?
Silahkan membaca.


Pertanyaan :

بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

Semoga Allah Azza wa Jalla selalu menjaga Ustadz & keluarga.

Afwan ustadz, saya mau bertanya, dulu semasa masih sangat jauh dari ilmu agama, saya pernah berbuat salah dengan seseorang perempuan karena bisa dibilang berebut laki-laki yang mungkin jadi menjelek-jelekkan (ghibah) di belakang bahkan menyakiti dengan mengambil laki-laki itu dari perempuan itu.
Apa yang sekarang harus saya lakukan?
Apakah saya harus meminta maaf akan hal itu kepada wanita tersebut walaupun itu hal yang masa dulu itu memperebutkan hal yang tidak baik.

Karena saya pernah dengar kalau kita salah minta maaf, tapi saya bingung apa kesalahan yang gara-gara memperebutkan laki-laki tersebut .. juga saya harus minta maaf untuk kesalahan itu…
Karena saya takut kalau tidak minta maaf akan hal itu, saya berdosa…

(Disampaikan oleh Fulanah, Sahabat BiAS T09-G29)


Jawaban :

وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ

بِسْـمِ اللّهِ

Alhamdulillāh
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du
Ayyuhal  Ikhwan wal Akhwat baarakallah fiikum Ajma’in.

Bertaubat dari dosa ghibah adalah dengan meminta kehalalan (minta maaf dengan tulus) dari orang yang dighibahi, sama saja jika nantinya dimaafkan atau tidak, itu adalah perkara lain. Hal ini karena melihat hadits umum yang datang dari sahabat mulia Abu Hurairah radhiallahu’anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam pernah bersabda,

مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ

“Siapa yang pernah menzalimi saudaranya berupa menodai kehormatan atau mengambil sesuatu yang menjadi miliknya, hendaknya ia meminta kehalalannya dari kezaliman tersebut hari ini. Sebelum tiba hari kiamat yang tidak akan bermanfaat lagi dinar dan dirham. Pada saat itu bila ia mempunyai amal shalih maka akan diambil seukuran kezaliman yang ia perbuat. Bila tidak memiliki amal kebaikan, maka keburukan saudaranya akan diambil kemudian dibebankan kepadanya.”
(HR. Bukhari, no. 2449).

Dan jika ternyata orang yang dighibahi ini adalah orang yang buruk dan fasiq, maka permasalahan ini perlu dilihat:
Jika dugaan kuat, dia (orang yang dighibahi) adalah orang yang berhati lapang, easy going, terbuka maka harus minta maaf (kehalalan).
Namun apabila yang terjadi adalah mudharat yang lebih besar (dugaan kuat orang ini karakternya pendendam, gampang marah lagi emosian, egoisme), maka tidak perlu minta maaf secara terang – terangan, bisa sembunyi-sembunyi (pesan khusus) atau mendoakan banyak kebaikan kepadanya, hal ini karena menimbang:

Pertama,
Mengabarkan ghibah kepada orang yang di-ghibahi akan menimbulkan dampak negatif (mafsadah) yang tak dapat dipungkiri, yaitu akan menambah sakit perasaannya. Karena celaan yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang dicela lebih menyakitkan ketimbang celaan yang dilakukan dengan sepengetahuan orang yang dicela. Dia mengira orang yang selama ini dekat dengannya dan berada di sekelilingnya, ternyata dia telah merobek-robek kehormatannya di balik selimut.

Kedua,
Mengabarkan ghibah kepada orang yang di-ghibahi akan menimbulkan permusuhan. Karena jiwa manusia sering kali tidak bisa bersikap obyektif dan adil dalam menyikapi hal seperti ini.

Ketiga,
Mengabarkan ghibah kepada orang yang dighibahi akan memupuskan rasa kasih sayang diantara keduanya. Yang terjadi justru semakin menjauhkan hubungan silaturahim atau persaudaraan Islam.

Dalam agama kita yang mulia berlaku kaidah agung,

عطيل المفاسد وتقليلها لا على تحصيلها وتكميلها

“Mencegah kerusakan atau keburukan secara merata, atau memperkecil dampaknya. Bukan menimbulkan kerusakan atau menyempurnakan kerusakan”
(lihat kitab al-Fawaid al-Majmu’ah karya Syaikh Abdullah al-Fauzan, hal. 166).

Wallahu Ta’ala A’lam.

 

Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Selasa, 24 Jumadal Akhiroh 1441 H / 18 Februari 2020 M



Ustadz Fadly Gugul S.Ag. حفظه الله
Beliau adalah Alumni STDI Imam Syafi’i Jember (ilmu hadits), Dewan konsultasi Bimbingan Islam

Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Fadly Gugul حفظه الله تعالى klik disini

Ustadz Fadly Gugul, S.Ag

Beliau adalah Alumni S1 STDI Imam Syafi’I Jember Ilmu Hadits 2012 – 2016 | Bidang khusus Keilmuan yang pernah diikuti beliau adalah Takhosus Ilmi di PP Al-Furqon Gresik Jawa Timur | Beliau juga pernah mengikuti Pengabdian santri selama satu tahun di kantor utama ICBB Yogyakarta (sebagai guru praktek tingkat SMP & SMA) | Selain itu beliau juga aktif dalam Kegiatan Dakwah & Sosial Dakwah masyarakat (kajian kitab), Kajian tematik offline & Khotib Jum’at

Related Articles

Back to top button