Apakah Hutang Pajak Kendaraan Menjadi Hutang Akhirat?

Apakah Hutang Pajak Kendaraan Menjadi Hutang Akhirat?
Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang Apakah Hutang Pajak Kendaraan Menjadi Hutang Akhirat? selamat membaca.
Pertanyaan:
Bismillah Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.. Ustadz, Jika ada seorang yang meninggal, apakah pajak yang tidak dibayar harus dilunasi oleh ahli warisnya? Misalnya ada pajak kendaraan bermotor yang sudah bertahun-tahun tidak dibayar… apakah pajak tersebut akan menjadi hutang akhirat, ustadz? Jazaakallahu khairan wa baarakallahu fiikum…
Ditanyakan oleh Santri Mahad Bimbingan Islam
Jawaban:
Waalaikumsalam warahmatullah wabarokatuh
Bismillah
Terkait dengan pajak yang harus dibayarkan maka berkaitan dengan hukum asal dari pajak tersebut. Apakah juga ia bagian hutang yang diancamkan pelakunya bila tidak dibayarkan, sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
“Jiwa seorang mukmin tergantung karena hutangnya, sampai hutang itu dilunaskannya.”
[HR. At Tirmidzi No. 1079, Ibnu Majah No. 2413, dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalamTahqiq Musnad Ahmad No. 10607)
Dari dalil dan dasar yang ada, maka pada dasarnya pajak adalah haram. Diantaranya sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
إِنَّ صَاحِبَ الْمَكسِ فِيْ النَّارِ
“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah : 7]
Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya apakah Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu pernah menarik pajak dari kaum muslimin. Beliau menjawab : “Tidak, aku tidak pernah mengetahuinya”
[Syarh Ma’anil Atsar 2/31] 2.
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah pernah menulis sepucuk surat kepada Adi bin Arthah, di dalamnya ia berkata : “Hapuskan dari manusia (kaum muslimin) Al-Fidyah, Al-Maidah, dan Pajak. Dan (pajak) itu bukan sekedar pajak saja, melainkan termasuk dalam kata Al-Bukhs yang telah difirmankan oleh Allah.
وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ “…
Dan janganlah kamu merugikan/mengurangi manusia terhadap hak-hak mereka, dan janganlah kamu berbuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan” [QS. Hud : 85]
Imam Ibnu Hazm Al-Andalusi rahimahullah mengatakan dalam kitabnya, Maratib Al-Ijma (hal. 121), dan disetujui oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah : ”Dan mereka (para ulama) telah sepakat bahwa para pengawas (penjaga) yang ditugaskan untuk mengambil uang denda (yang wajib dibayar) di atas jalan-jalan, pada pintu-pintu (gerbang) kota, dan apa-apa yang (biasa) dipungut dari pasar-pasar dalam bentuk pajak atas barang-barang yang dibawa oleh orang-orang yang sedang melewatinya maupun (barang-barang yang dibawa) oleh para pedagang (semua itu) termasuk perbuatan zhalim yang teramat besar, (hukumnya) haram dan fasik. Kecuali apa yang mereka pungut dari kaum muslimin atas nama zakat barang yang mereka perjualbelikan (zakat perdagangan) setiap tahunnya, dan (kecuali) yang mereka pungut dari para ahli harbi (kafir yang memerangi agama Islam) atau ahli dzimmi (kafir yang harus membayar jizyah sebagai jaminan keamanan di negeri muslim), (yaitu) dari barang yang mereka perjualbelikan sebesar sepersepuluh atau setengahnya, maka sesungguhnya (para ulama) telah beselisih tentang hal tesebut, (sebagian) berpendapat mewajibkan negara untuk mengambil dari setiap itu semua, sebagian lain menolak untuk mengambil sedikitpun dari itu semua, kecuali apa yang telah disepakati dalam perjanjian damai dengan dengan ahli dzimmah yang telah disebut dan disyaratkan saja”
[Lihat Nasehat Bijak hal. 75-77 oleh Ibnu Saini, dan Al-washim wal Qawashim hal. 49 oleh Dr Rabi Al-Madkhali.]
Sikap seorang muslim terhadap pajak yang di wajibkan oleh pemerintah?
Menjadi kewajiban seorang muslim walau melihat kedhaliman yang dirasakan untuk mentaati sebisanya, dengan sambil mencoba sisi kebaikan dari pajak yang dibebankan kepada semua orang.
Karenannya para ulamapun sebagian membolehkan hukum pajak yang diambil karena adanya kemaslahatan dengan pajak tersebut, yang dikembalikan kembali kepada sarana dan fasilitas masyarakat.
Bila tetap dianggap, itu adalah bentuk kedhaliman dari seorang pemimpin, maka tetap menjadi kewajiban untuk ditaati sebisa mungkin/sesuai kemampuan.
Sebagaimana dijelaskan dalam satu hadits yang panjang, setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan akan datangnya pemimin yang zalim yang berhati setan dan berbadan manusia, Hudzaifah bin Al-Yaman Radhiyallahu ‘anhu bertanya tentang sikap manusia ketika menjumpai pemimpin seperti ini.
Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab.
اِسْمَعْ وَأطِعْ وَإِنْ ضَرَبَ ظَهْرَكَ ؤَأَخَذَ مَالَكَ
“Dengarlah dan patuhlah (pemimpinmu)! Walaupun dia memukul punggungmu dan mengambil (paksa) hartamu” [HR Muslim kitab Al-Imarah : 1847]
Fadhilatusy Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah memberi alasan yang sangat tepat dalam masalah ini.
Beliau mengatakan : “Melawan pemimpin pada saat itu lebih jelek akibatnya daripada sekedar sabar atas kezhaliman mereka. Bersabar atas kezhaliman mereka (memukul dan mengambil harta kita) memang suatu madharat, tetapi melawan mereka jelas lebih besar madharatnya, seperti akan berakibat terpecahnya persatuan kaum muslimin, dan memudahkan kaum kafir menguasai kaum muslimin (yang sedang berpecah dan tidak bersatu) [Lihat Al-Fatawa As-Syar’iyah Fi Al-Qodhoya Al-Ashriyyah halaman.93)
Sehingga, diharapkan ahlu warisnya tetap membayarkan pajak yang tertunda bila memungkinkan untuk dibayarkan, baik dari harta warisan yang ditinggalkan atau dari sumber yang lainnya.
Bila tidak dibayarkan, semoga tidak termasuk dari hukuman hutang karena perbedaan dasar hukum antara kewajiban hutang biasa dengan hutang pajak yang berasal dari sesuatu yang awalnya di perselisihkan kewajibannya/tidak disyariatkan.
Wallahu a`lam.
Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Mu’tashim, Lc. MA. حفظه الله
Jum’at, 29 Jumadil Awal 1444H / 23 Desember 2022 M
Ustadz Mu’tashim Lc., M.A.
Dewan konsultasi BimbinganIslam (BIAS), alumus Universitas Islam Madinah kuliah Syariah dan MEDIU
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Mu’tashim Lc., M.A. حفظه الله klik di sini