Apa Hukum Syariat Bagi Suami yang berlaku kasar Kepada Istri?
Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki adab dan akhlak yang luhur berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang apa hukum syariat bagi suami yang berlaku kasar kepada istri?
Silahkan membaca.
Pertanyaan :
بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْم
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Semoga Allah Azza wa Jalla selalu menjaga Ustadz & keluarga.
Ustadz. Afwan ijin bertanya. Apa hukum syariat jika suami sudah berlaku kasar (main tangan) sama istri? Saudari ana sedang mengalami hal ini dalam urusan rumah tangganya. Mohon arahannya Ustadz. Jazakallah Khairan.
(Disampaikan oleh Fulanah, Member grup WA BiAS)
Jawaban :
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْـمِ اللّهِ
Alhamdulillāh
Alhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah, wash shalaatu was salaamu ‘alaa rasulillaah, Amma ba’du.
Dalam berumah tangga, tidak selamanya berjalan mulus, kadang kala bunga dan bumbu di rumah tangga itu kerap kali muncul termasuk percekcokan di antara suami dan istri. Di antara yang menyakitkan terjadi adalah ‘ringan tangan’ dari suami kepada istrinya berupa tamparan di wajah.
Memukul wajah sendiri adalah terlarang, padahal wajah sendiri, maka menampar wajah orang lain (bukan wajah kita) lebih tidak boleh lagi, apatah lagi itu adalah istrinya sendiri yang telah mengalami suka duka bersama dalam menjalani bahtera rumah tangga.
Maka di antara hak yang harus dipenuhi seorang suami kepada istrinya ialah tidak memukul wajah istrinya, meski terjadi perselisihan yang sangat dahsyat, misalnya karena si istri telah berbuat durhaka kepada suaminya. Memukul wajah sang isteri adalah terlarang dan haram hukumnya. Sebagaimana firman Allah ‘Azza Wa Jalla;
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (isteri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dan hartanya. Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suami-nya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.”
(QS. An-Nisaa’ : 34)
Syarat Ketat Untuk Sebuah Pukulan
Dalam ayat di atas yang telah disebutkan, Allah Ta’ala membolehkan seorang suami memukul istrinya. Akan tetapi ada hal yang perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh tentang bolehnya memukul adalah harus terpenuhinya kaidah-kaidah sebagai berikut, yaitu:
1. Setelah dinasihati, dipisahkan tempat tidurnya, namun tetap tidak mau kembali kepada syari’at Islam.
2. Tidak diperbolehkan memukul wajahnya. Karena wajah adalah tempat mulia dan kehormatan dari tubuh seseorang, sedangkan menampar wajah dapat membekas (sensitif dan termasuk epidermis/ kulit tipis)
3. Tidak boleh memukul dengan pukulan yang menimbulkan bekas atau membahayakan isterinya. Pukulannya pun pukulan yang tidak melukai, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam:
فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ
“Dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai.”
(Shahih. HR. Muslim, no. 1218)
Memukul Bukan Ciri Orang Yang Baik
Dan orang yang suka memukul tidak digolongkan Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai orang yang baik. Perhatikan sabda beliau;
لَيْسَ أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ
“Sesungguhnya mereka itu (yang suka memukul isterinya) bukan orang yang baik di antara kamu.”
(HR. Abu Daud, no. 2146, Ibnu Majah, no. 1985, dinilai shahih oleh Imam Al Hakim dan disepakati oleh Al Hafizh Adz Dzahabi).