Apa Hukum Menerima Uang Haram Dari Suami Atau Ayah?

Apa Hukum Menerima Uang Haram Dari Suami Atau Ayah?
Para pembaca Bimbinganislam.com yang memiliki akhlaq mulia berikut kami sajikan tanya jawab, serta pembahasan tentang Apa Hukum Menerima Uang Haram Dari Suami Atau Ayah? selamat membaca.
Pertanyaan:
Bismillah, Assalamu’alaykum ustadz. Semoga ustadz sekeluarga selalu dalam lindungan dan rahmat Allah, juga kaum muslimin di manapun mereka berada. Ustadz saya ingin bertanya. Bagaimana hukum menerima uang haram (termasuk rumah) pemberian suami/ayah?. Jazaakumullah khayran wa baarakallah fiikum
Ditanyakan oleh Santri Mahad Bimbingan Islam
Jawaban:
Waalaikumsalam warahmatullah wabarokatuh
Aamiin, semoga juga anda dan kita semua dimudahkan dalam segala urusan untuk selalu meniti jalan Allah ta`ala.
Menerima uang pemberian dari pekerjaan yang dianggap haram/syubhat, selama posisinya berhak mendapatkan uang tersebut baik karena kewajiban nafkah yang harus diberikan oleh seorang ayah atau suami, atau berupa hadiah dan sebagainya selama harta tersebut bukan dari harta yang merugikan hak manusia lain (semisal hasil mencuri dan yang lainnya) maka menerima harta tersebut diperbolehkan, walaupun bila bisa menolaknya itu lebih menenangkan dan lebih utama.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh syekh Ibnu Utsaimin dalam satu fatwanya, yang dinukilkan oleh web islam no 429.862, ketika beliau ditanya terkait dengan kebutuhan seseorang, yang akan mendapatkan bantuan dari orang tuanya yang bertransaksi dengan riba dari salah satu bank .
Apakah diperbolehkan untuk mengambilnya apa tidak? padahal ia membutuhkannya. Kemudian beliau menjawab dan memberikan kaidah penting untuk kita coba pahami. Beliau menjelaskan,”
“أحب أن أعطي الأخ السائل والقراء قاعدة مفيدة، وهي: ما حرم لكسبه؛ فهو حرام على الكاسب فقط. وأما ما حرم لعينه؛ فهو حرام على الكاسب وغيره.
مثال على ذلك: لو أن أحداً أخذ مال شخص بعينه، وأراد أن يعطيه آخر لبيع أو هبة. قلنا: هذا حرام؛ لأن هذا المال محرم بعينه.
أما الكسب الذي يكون محرما كالكسب عن طريق الربا، أو عن طريق الغش -أو ما أشبه ذلك- فهذا حرام على الكاسب، وليس حراما على من أخذه بحق. ودليل هذا أن النبي عليه الصلاة والسلام، كان يقبل من اليهود، ويجيب دعوتهم، ويأكل من طعامهم، ويشتري منهم، ومعلوم أن اليهود يتعاملون بالربا؛ كما ذكر الله عنهم في القرآن.
وبناء على هذه القاعدة، أقول لهذا السائل: خذ جميع ما تحتاجه للزواج من مال أبيك؛ فهو حلال لك وليس حراما. من فتاوى إسلامية.
“Saya ingin berikan kepada saudara penanya dan pembaca suatu kaidah yang bermanfaat, yaitu : Apa yang di haramkan dalam mendapatkannya, maka hanya haram buat si pelakunya saja. Adapun sesuatu yang di haramkan karena dzat bendanya maka diharamkan buat pelakunya dan selainnya. Misalnya, bila seseorang mengambil harta orang lain dengan dzat tersebut, dan ingin memberikan kepada yang lainnya dengan cara jual beli ataupun hadiah, maka kita katakan, ini adalah haram karena dzat barang tersebut haram. Adapun hasil usaha yang di haramkan seperti usaha dari cara riba atau dari cara menipu dan semisalnya, maka ini haram buat pelakunya dan tidak haram bagi orang yang mengambil/mendapatkannya dengan cara yang benar. Dalilnya bahwa nabi `alaihi sholatu wasallam bertransaksi dengan orang yahudi yang melakukan transaki riba, sebagaimana yang telah Allah sebutkan di dalam alquran. “
Dan senada dengan hal terebut, apa yang telah dijelaskan oleh syekh Islam Ibnu taimiyah rahimahullah ta`ala,”
الأصل الثاني: أن المسلم إذا عامل معاملة يعتقد هو جوازها، وقبض المال، جاز لغيره من المسلمين أن يعامله في مثل ذلك المال. وإن لم يعتقد جواز تلك المعاملة. انتهى من مجموع الفتاوى.
”Kaidah yang kedua: bahwa seorang muslim bila melakukan transaksi yang diyakini tentang kebolehannya, dan telah ia terima harta tersebut, maka boleh buat selainnya dari kaum muslimin untuk melakukan transaksi semisal dengan harta tersebut, walaupun ia tidak yakin dengan kebolehan transaksi ( awal dari perolehan harta sebelumnya) tersebut .” Majmu Fatawa.
Sekali lagi, bila bisa menghindarinya maka lebih baiknya mengindari, bila tidak maka mengmbailnya sesuai dengan kebutuhan, bila nantinya bisa bekerja atau usaha sendiri maka sebaiknya tidak mengambilnya sama sekali dari apa yang diberikan, supaya bisa lebih mendapatkan posisi yang lebih mulia dan tinggi ketika nantinya kita akan memberikan masukan/nasihat kepada orang yang bermuamalah dengan sesuatu yang haram tersebut.
Wallahu a`lam.
Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Mu’tashim, Lc. MA. حفظه الله
Rabu, 8 Sya’ban 1444H / 1 Maret 2023 M
Ustadz Mu’tashim Lc., M.A.
Dewan konsultasi BimbinganIslam (BIAS), alumus Universitas Islam Madinah kuliah Syariah dan MEDIU
Untuk melihat artikel lengkap dari Ustadz Mu’tashim Lc., M.A. حفظه الله klik di