Anak Zina Dalam Tinjauan Syariat

Pertanyaan
بِسْـمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Bagaimana hukumnya bagi anak dari hasil zina?
Apakah benar anak hasil zina dinasabkan kepada ibunya? Dikatakan bahwa anak hasil zina berarti tidak punya ayah, tidak ada hubungan dengan ayah biologisnya di dalam hukum Allah.
Lalu, apakah itu juga berarti berlaku hukum yang sama dengan keluarga ayah biologisnya, seperti kakek neneknya paman bibinya dan seluruh kerabatnya? Apakah mereka semua bukan mahram? Lalu siapa sajakah yang menjadi mahram bagi anak hasil zina tersebut? Syukron.
(Fulanah, Sahabat BiAS T04 G-xx)
Jawaban
وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ
بِسْـمِ اللّه
Benar, nasab anak itu terputus dari sisi bapak. Ia dinasabkan pada Ibunya.
Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam menjelaskan tentang anak zina:
لأَهْلِ أُمِّهِ مَنْ كَانُوا حُرَّةً أو لأمَةً
“(Anak itu milik) keluarga ibunya siapapun mereka, baik wanita merdeka atau budak wanita”
[HR Abu Dawud 1930]
” الولد للفراش وللعاهر الحجر” رواه البخاري 2053 ومسلم 1457
“Anak (hasil zina) itu miliknya sang pemilik firosy, dan bagi pezina (laki-laki) dia akan mendapatkan kerugian” [HR Bukhori 2053 dan Muslim 1457]
الإمام النووي رحمه الله تعالى في شرح مسلم: الولد للفراش، فمعناه: أنه إذا كان للرجل زوجة أو مملوكة صارت فراشاً له فأتت بولد لمدة الإمكان منه لحقه الولد وصار ولداً يجري بينهما التوارث وغيره من أحكام الولادة، سواء كان موافقاً له في الشبه أم مخالفاً، ومدة إمكان كونه منه ستة أشهر من حين اجتماعهما
Imam An-Nawawi rohimahulloh mengatakan; Ketika seorang wanita menikah dengan lelaki atau seorang budak wanita menjadi pasangan seorang lelaki, maka si wanita tersebut menjadi firosynya sang lelaki. Selama si wanita menjadi firosy lelaki, maka setiap anak yang terlahir dari wanita tersebut adalah anaknya. Meskipun bisa jadi ada anak yang tercipta dari hasil perselingkuhan dengan laki-laki lain. Sedangkan laki-laki selingkuhannya hanya mendapatkan kerugian, artinya tidak memiliki hak sedikit pun dengan anak hasil perbuatan zinanya dengan istri orang lain. (Syarh Shohih Muslim, An-Nawawi, 10:37)
Dan dalam Fatwa Lajnah Daimah no 20/387 disebutkan;
جاء في ” فتاوى اللجنة الدائمة 20/387 “
” الصحيح من أقوال العلماء أن الولد لا يثبت نسبه للواطئ إلا إذا كان الوطء مستنداً إلى نكاح صحيح أو فاسد أو نكاح شبهة أو ملك يمين أو شبهة ملك يمين ، فيثبت نسبه إلى الواطئ ويتوارثان ، أما إن كان الوطء زنا فلا يلحق الولد الزاني ، ولا يثبت نسبه إليه ، وعلى ذلك لا يرثه ” . انتهى .
Yang benar dari perkataan para ‘Ulama tentang anak adalah, tidak akan dinasabkan dengan bapak persetubuhan kecuali jika persetubuhan itu bersandarkan pada sebuah pernikahan yang sah atau perbudakan. (Jika demikian) maka sang anak dapat dinasabkan pada bapak persetubuhan dan saling mewarisi. Sedangkan jika persetubuhan itu zina, maka tidak dinasabkan padanya dan juga tidak mewarisinya.
Adapula dalam Fatwa Lajnah Daimah yang lain, yakni nomor 20/34, disebutkan;
وجاء – أيضاً – في ” فتاوى اللجنة الدائمة 20/34 “
” أما ولد الزنا فيلحق نسبا بأمه ، وحكمه حكم سائر المسلمين إذا كانت أمه مسلمة ، ولا يؤاخذ ولا يعاب بجرم أمه ، ولا بجرم من زنا بها ، لقوله سبحانه : ( وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ) ” انتهى .
Adapun anak zina hak nasabnya kepada sang ibu, dan hukumnya sama dengan hukum yang berlaku pada segenap kaum muslimin jika ibunya muslimah, tidak dihukum dan tidak diberi sangsi karena dosa ibunya, juga karena dosa atau kesalahan yang berzina dengan ibunya, sebagaimana dalam FirmanNya : “Dan orang yang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”
Karenanya, telah dimaklumi bahwa penetapan nasab akan berimplikasi pada hukum-hukum syar’iat yang lain sebagaimana dijelaskan telah dalam banyak hadits, seperti hukum menyusui, pengasuhan, penjagaan, nafkah, waris, persaksian, dll. Maka tatkala yang rojih adalah tidak menasabkan anak zina pada bapak persetubuhan, begitupula pada implikasi-implikasi hukum yang telah kita sebutkan tidaklah menjadi tanggung jawab bapak, namun ditanggung sang ibu.
Meskipun begitu, walau tidak dinasabkan padanya, tapi tetaplah sang bapak persetubuhan tidak bisa menikah dengan anak wanita hasil perzinahannya.
Ibnu Qudamah rohimahulloh mengatakan dalam AL-Mughni 7/485;
قال ابن قدامة – رحمه الله – :
ويحرم على الرجل نكاح بنته من الزنا ” المغني 7/485 “
Diharamkan atas bapak menikahi anak perempuan hasil zinanya
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh ditanya tentang bolehkah anak wanita hasil zina menikah dengan bapak persetubuhannya?
وسئل شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله : عن بنت الزنا هل تزوج بأبيها ؟
فأجاب: الحمد لله ، مذهب الجمهور من العلماء أنه لا يجوز التزويج بها ” مجموع الفتاوى 32/134″
Beliau rohimahulloh menjawab; Segala puji bagi Alloh, dan pendapat dari jumhur ‘Ulama adalah tidak bolehnya sang bapak persetubuhan menikah dengannya. (Majmu’ Fatawa 32/134)
Lalu bagaimana dengan mahrom sang anak hasil zina? Hukum dan penjelasan yang kami sampaikan diatas adalah tentang status nasab sang anak saja, bukan tentang mahrom. Sebab perlu difahami, jika bapak persetubuhan kemudian menikahi ibu persetubuhan, statusnya berubah menjadi bapak tiri. Dan hukum tentang bapak tiri terhadap anaknya ada 2 macam;
1. Jika sudah berhubungan intim dengan ibu (yang mana statusnya telah menjadi istri sahnya), maka sang bapak statusnya adalah mahrom bagi anak tirinya.
2. Jika belum berhubungan intim dengan ibu si anak, maka statusnya bukan mahrom bagi anak tirinya.
Namun sekali lagi, nasab sang anak tetap pada ibunya.
Wallohu A’lam
Wabillahit Taufiq
Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Rosyid Abu Rosyidah, حفظه الله
Tanya Jawab
Tanya Jawab Grup WA Bimbingan Islam T04
Kamis, 9 Rajab 1438H / 6 April 2017M