90 km Itu Baru Bisa Dikatakan Jarak Musafir?

SHALAT SUNNAH KETIKA SAFAR
بسم اللّه الرحمن الر حيم
السلام عليكم ورحمةالله وبركاته
Pertanyaan
Ustadz, jika saya bepergian atau shopping dengan jarak 10 km dari rumah, apakah disunnahkan untuk sholat rawatib dzuhur & ashar? Ataukah tidak..?
Bukankah 90 km itu baru bisa dikatakan jarak musafir?
dan yang Rosulullah tidak pernah tinggalkan adalah sunat qobliah fajar & dhuha saja.. benarkan seperti itu?
Mohon penjelasan Ustadz karna saya akan lebih yakin & tenang jika mengerjakan amalan dengan ilmunya
جَزَاك اللَّهُ خَيْرًا
(Penanya : Aunty’Ct dari Malaysia, SAHABAT BiAS T06 G-48)
Jawaban
Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh
Orang yang safar itu mendapatkan rukhsoh/keringanan dari Allah, dan Allah suka jika kita mengambil keringanan tersebut dalam rangka memudahkan kita
Keringanan = rukhsoh tersebut ada enam : boleh jamak, boleh qashar, boleh tidak puasa, boleh tidak salat jamaah, boleh tidak salat jum’at, boleh mengusap alas kaki ketika wudhu.
Semua rukhsoh ada dalilnya, saya akan sebutkan satu diantaranya tentang dalil qashar solat, Allah berfirman :
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُواْ إِنَّ الْكَافِرِينَ كَانُواْ لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِينًا
“Jika kalian sedang safar di muka bumi tidak mengapa bagi kalian untuk mengqashar solat” (Surat An- Nisa : 101).
Para ulama berbeda pendapat akan batasan minimal safar. Yang menyatakan 90 km tidak memiliki dalil sama sekali, tidak ada batasan dari Al Qu’ran maupun hadits Nabi tentang batasan minimal safar, semua bersumber dari ijtihad ulama.
Jika tidak ada batasan minimal safar maka kita mengembalikan batasan tersebut pada ‘urf/kebiasaan masyarakat di sekitar kita. Jika masyarakat sudah mengatakan itu safar maka itulah safar, jika tidak maka tidak.
Contoh di kampung saya mengatakan orang yang pergi keluar kota itu sudah safar, maka saya setiap kali keluar kota menjamak qashar dan tidak melakukan rawatib.
Batasan ini mungkin tidak berlaku di daerah lain karena kebiasaan masyarakat menyebut safar berlainan satu sama lain.
Dalil Nabi meninggalkan shalat rawatib ketika safar tersebut dalam beberapa riwayat. Imam Ibnu Utsaimin berkesimpulan tentang riwayat-riwayat tersebut dengan berkata :
وأما الرواتب ، فإنني تأملت ما جاءت به السنة في النوافل ، وتبين لي أن راتبة الظهر ، والمغرب ، والعشاء لا تصلى ، وما عدا ذلك من النوافل فإنه يصلى مثل سنة الفجر ، وسنة الوتر ، وصلاة الليل ، وصلاة الضحى ، وتحية المسجد
حتى النفل المطلق أيض
“Adapun rawatib aku merenungkan apa yang datang dari sunnah dan menjadi jelas bagiku bahwa rawatib dhuhur, maghrib, isya (ialah) tidak dilakukan. Adapun salat sunnah lainnya tetap dilakukan sebagaimana shalat sunnah fajar dan witir dan shalat lail dan shalat dhuha dan tahiyatul masjid sampai shalat sunnah mutlak.”
(Sumber Majmu Fatawa : 15/258)
Wallahu a’lam
Dijawab dengan ringkas oleh:
Ustadz Abul Aswad Al-Bayati حفظه الله
Tanya Jawab
Tanya Jawab Grup WA Bimbingan Islam T06
Kamis, 26 Muharram 1438 H / 27 Oktober 2016